
Memindahkan isi sebuah novel ke dalam sebuah film tentunya tidak mudah, apalagi jika novel tersebut memiliki jumlah penggemar yang banyak. Saga Harry Potter pun menderita penyakit yang sama, kesulitan untuk menerjemahkan kata per kata, kalimat per kalimat, dan perpindahan antar bab ke dalam sebuah film berdurasi 2 hingga 3 jam. Film pertama dan kedua arahan Chris Colombus cukup sukses meng-"copy paste" cerita novel The Sorcerer's Stone dan The Chamber of Secrets, tapi jadinya malah datar-datar saja, meskipun hasil box office berkata lain.
Perubahan besar terjadi di film ketiga. Alfonso Cuaron menyihir nuansa ceria dan penuh fantasi di dua film sebelumnya menjadi gelap dan serius. Transisi antar adegan dan visual yang cantik menjadi kekuatan utama The Prisoner of Azkaban, dan turut mengantarkan trio Harry, Ron, dan Hermione ke masa remaja. Film ketiga ini juga mengalami perombakan cerita besar-besaran dari versi novelnya, namun ternyata sambutan fans positif. Barulah di film keempat, The Goblet of Fire, kritikan dan cercaan mulai datang. Sutradara Mike Newell dituding sebagai penyebab utama "gagal"nya film yang berfokus pada Turnamen Tri Wizard tersebut. Editing yang tidak halus, menghilangkan 2 karakter penting dan satu karakter yang seharusnya kembali pasca film kedua, dan, mengubah sepenuhnya tugas ketiga di Turnamen berbahaya itu. Tentu saja, hasil box office lagi-lagi menolong.
Maka, muncullah David Yates, untuk mengambil alih film kelima hingga ketujuh. Fans kembali kecewa. The Order of The Phoenix, yang mana adalah novel paling tebal di antara yang lain, diubah menjadi film dengan durasi terpendek dari saga penyihir berkacamata ini. Sangat banyak karakter, adegan, sub-plot, dan bahkan "benda", yang dibuang demi tercapainya durasi yang diinginkan. Film keenam, meskipun visually stunning dan dihidupkan oleh akting luar biasa dari Michael Gambon dan Tom Felton, tetap menyisakan sesuatu yang "mengganjal". The Half Blood Prince mengesampingkan inti dari judulnya sendiri, dan lebih berfokus pada romansa murid Hogwarts yang sedang puber lanjutan. People still crossing their finger, though.
Dan akhirnya, Warner Bros. Membuat sebuah keputusan besar, yaitu membagi film terakhir menjadi dua bagian. Tentu saja sisi komersial dan keuntungan sangat jelas, tapi setidaknya, ada ruang lebih besar untuk menampung apa yang sudah ditinggalkan dari film-film sebelumnya. Benarkah?
Harry Potter and The Deathly Hallows: Part I (HP7-I), dibuka dengan adegan terpisah tiga tokoh utama yang sepakat untuk tidak kembali ke Hogwarts di tahun ajaran terakhir. Hermione di rumahnya, Harry yang memandang kepergian keluarga paman dan bibinya, dan Ron, yang harus tinggal di The Burrow yang tengah diperbaiki akibat serangan Death Eaters di film keenam. Sebuah tambahan yang menyentuh, di mana Hermione menyihir kedua orangtuanya agar tidak memiliki kenangan apapun tentangnya, karena keputusannya dan Ron untuk menemani Harry berburu Horcrux, potongan-potongan jiwa Voldemort. Jika anda penggemar novelnya, adegan ini berpotensi menjadi tear-jerker.
Di tempat lain, Severus Snape melaporkan bahwa kementerian sihir sudah berhasil dikuasai, dan dia pun telah mendapatkan bocoran tentang rencana penyembunyian Harry Potter. Akibatnya, misi pelarian Harry dengan menyamarkan 6 anggota Orde Phoenix menjadi Harry Potter gadungan pun rusak. Dan, meskipun Harry yang asli berhasil selamat, mereka harus kehilangan seorang anggota penting. Di tengah kondisi itu dan persiapan pernikahan kakak Ron, Bill, menteri sihir Rufus Scrimgeour muncul untuk memberikan warisan terakhir Albus Dumbledore pada Harry, Ron, dan Hermione. Sebuah buku cerita sihir anak untuk Hermione, Deluminator untuk Ron, dan Snitch tangkapan pertama Harry di pertandingan Quidditch. Satu warisan lagi untuk Harry, yaitu pedang Godric Gryffyndor, tidak dapat diserahkan karena keberadaannya yang tidak diketahui. Setelah itu, adegan-adegan berjalan dengan cepat, dan tiba-tiba saja pesta penikahan Bill dan Fleur diserang, dan Lupin memerintahkan Harry, Ron, dan Hermione untuk segera pergi sejauh mungkin. Dan, dimulailah perjalanan panjang trio penyihir dalam menghindari kejaran Death Eaters dan berburu Horcrux.
Satu hal yang mencolok dari HP7-I adalah kualitas akting Daniel Radcliffe, Rupert Grint, dan terutama, Emma Watson. Chemistry yang terbangun di antara mereka bertiga sangat kuat dan natural. Helena Bonham Carter, seperti biasa, sangat total dalam durasi kemunculan Bellatrix yang sangat singkat. Begitu juga Bill Nighy sebagai Scrimgeour, yang hanya muncul di satu adegan utama. Kurangnya kemunculan tokoh-tokoh pendukung ini memang dimaklumi, karena di novelnya pun fokus paruh pertama cerita ada pada Harry dan dua sahabatnya.
Tidak terlalu banyak efek spesial yang digunakan, namun tetap solid dan meyakinkan. Transisi antar adegan masih sedikit mengganjal. I must say, dari semua film Potter, The Prisoner of Azkaban masih teratas dalam hal editing. Namun, dari sisi score dan musik, Warner Bros. menjatuhkan pilihan yang tepat pada Alexandre Desplat.
Yang patut diperhatikan dari segi cerita adalah, kesetiaan Steve Kloves pada materi novel, tidak seperti film-film sebelumnya. Nyaris tidak ada bagian penting dari novel yang dibuang. Meskipun, dua hal yang cukup mengganggu adalah cermin warisan Sirius yang muncul begitu saja, dan tidak adanya Kisah Kreacher. Ini adalah kesalahan "warisan" film kelima yang membuang sub-plot Sirius dan Kreacher, yang ternyata berperan penting belakangan. Namun, untungnya, kekurangan tersebut bisa ditutupi dengan baik dan tidak terlalu mencolok. Selebihnya, apa yang ada di novel akan anda lihat di film ini, termasuk sebuah visualisasi unik dari cerita Tiga Bersaudara.
Kecemburuan Ron pada Harry dan Hermione dibangun secara perlahan dan meyakinkan. Penonton pun bisa memahami emosi dan egoisme Ron ketika akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan dua sahabatnya karena merasa Harry tidak punya rencana, dan anggapan bahwa Hermione lebih menyukai Harry.
Unsur humor akan sangat dirasakan ketika trio tokoh utama berada di kantor kementerian sihir untuk mencari Dolores Umbridge. Siap-siap untuk banyak tertawa. Ada juga beberapa adegan tambahan yang aslinya tidak ada di novel, yang ternyata efektif dan berdampak positif bagi cerita. Salah satunya adalah yang sudah disebutkan di atas, yaitu Hermione dan orangtuanya, serta, sebuah adegan dansa yang, bisa jadi sangat menyentuh dan manis, atau malah diartikan negatif.
HP7-I mendapatkan rating Parental Guidance-13 (PG-13), alias untuk remaja. Dan sangat disarankan untuk tidak mengajak anak kecil, karena banyaknya adegan kekerasan, darah, penyiksaan, dan bahkan sensuality dan mild nudity (meskipun CGI). You have been warned.
Secara keseluruhan, Harry Potter and The Deathly Hallows: Part I merupakan sebuah pengalaman yang berbeda. Tidak ada Hogwarts, tidak ada Quidditch, yang ada hanya tekanan, kebosanan, dan keputus-asaan Harry dan sahabatnya dalam perjalanan panjang berburu Horcrux. Jangan mengharapkan banyak efek spesial atau pertarungan dan aksi tanpa henti. Jangan pula berharap anda akan keluar dari bioskop dengan senyum lebar dan merasa puas, karena cerita ini masih belum selesai, dan anda kemungkinan besar akan merasa "dikerjain". Karena, meskipun ini baru bagian pertama, klimaks yang disajikan terputus begitu saja, dan hanya ditutup oleh Voldemort yang tampak bahagia setelah mendapatkan sebuah benda yang berharga.
Lalu, sukseskah David Yates "menebus dosa"nya di film kelima dan keenam? Mmmm, for now I would say, yes. Tapi penilaian akhir akan dipertaruhkan di Finale Part II, Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar